Surat Dari Jepang: Kisah Jatuh Bangun Main Ski Pertama di Maiko
"The greatest glory in living lies not in never falling,
but in rising every time we fall". - Ralph Waldo Emerson
Belajar dan Main Ski pertama di Maiko Snow Resort, Jepang |
Kutipan dari Ralph Waldo Emerson (RWE) di atas sangatlah tepat menggambarkan kisah perjuanganku dalam belajar dan main ski pertama kali pada hari ini. RWE berkata bahwa Kebanggaan terbesar dalam hidup bukanlah terletak pada diri kita yang tak pernah jatuh, melainkan di saat kita mampu bangkit setiap kali kita terjatuh.
Tinggal dan bertahan hidup di Jepang selama musim salju bukanlah sebuah hal yang mudah, khususnya bagi kami yang berasal dari daerah yang tak pernah merasakan salju. Hidup dalam lingkungan yang diselimuti oleh lautan salju dengan hawa dingin yang menusuk tulang membawa kebosanan yang amat sangat apabila tidak diisi dengan segudang kegiatan dan kesibukan.
Timbunan salju di tepi jalan dan pegunungan berwarna perak akibat tumpukan salju |
Mungkin bagi orang-orang yang tinggal di daerah tropis yang hanya memiliki dua musim seperti halnya Indonesia, melihat dan menyentuh salju merupakan salah satu impian yang terbesar dalam hidup. Sama seperti impianku yang sudah terpendam selama bertahun-tahun sejak aku menyaksikan pemadangan salju di film yang sering tayang menjelang natal tiba. Melihat butiran-butiran salju yang putih lembut tercurah laksana dimuntahkan langit, merasakan kelembutan dan dinginnya yang empuk meninggalkan rasa penasaran tersendiri. Ketika impian itu telah tercapai, 2-4 hari masih terasa indah dan nikmatnya. Namun setelah itu niat untuk mencebur di air laut yang hangat dengan terumbu karang dan ikan hiasnya yang berwarna-warni serasa menari-nari di depan mata. Lagu "Home" miliknya Michael Buble sangatlah tepat untuk menggambarkan perasaan yang ada setelah hari-hari yang indah dan nikmat tersebut berlalu.
Musim salju kali ini memang tidak separah tahun lalu (menurut penuturan orang-orang yang mengalami musim salju di tahun sebelumnya), namun demikian timbunan salju masih saja terlihat dengan ketebalan 1-4 meter dengan suhu rata-rata 0 (nol) derajat celcius. Kami tinggal di kota Minami Uonuma , Niigata Prefecture (setingkat Provinsi) sekitar 254 Km dari Tokyo. Niigata ini sangat terkenal dengan produksi beras terbaiknya (sangat pulen/sticky) yang dinamakan Koshihikari Rice serta juga terkenal dengan daerah ski resortnya.
Keinginan untuk menjajal salah satu ski resort ini terjawab ketika pihak gereja tempat kami beribadah setiap minggunya mengajak untuk mengadakan ski camp pada hari Minggu, 23 Februari 2014. Pastor Satou dan istri yang merupakan pemimpin gereja mengajak kami ke Maiko Snow Resort yang berjarak 30 menit dari Urasa (gereja) dengan menumpang mobil. Perjalanan selama 30 puluh menit tidaklah terasa karena sajian pemandangan pegunungan berbalut salju yang indah di kejauhan juga karena Pastor Satou yang asyik cerita dengan bahasa campuran antara bahasa Jepang dan Inggrisnya (kebetulan Pastor Satou yang menyetir kendaraan), sehingga seringkali hanya bisa angguk-angguk dan bilang haik douzo sekalipun tidak mengerti apa yang dibilang beliau.
Belajar, Terbanting, Bangkit dan Nabrak Orang
Bersama dengan mahasiswa/i kristen dari IUJ yang berasal dari berbagai negara, antara lain Indonesia, Philipina, Myanmar dan Ghana kami menikmati kunjungan ke ski resort ini. Setelah sebelumnya memakai pakaian khusus ski berbahan parasut dan tahan air, tiba di lokasi langsung makan siang dan tak lama kemudian memasang sepatu berbobot sekitar 5 kg yang juga khusus ski. Hati sudah tak sabar lagi untuk meluncur di atas permukaan salju.
Narsis dulu sebelum action dengan latar peralatan ski yang berderet |
Masing-masing mulai sibuk mengenakan peralatan ski dan belajar untuk menapakkan kaki berdiri dengan baik. Dua orang teman dari Philipina membawa peralatan snowboard sendiri dan mereka terlihat sudah terlatih untuk bermain di atas peralatan tersebut, sementara aku dan beberapa teman lainnya tertatih dan merangkak untuk bisa berdiri dengan sempurna. Untung saja sang Pastor, istrinya dan juga dua orang Jepang yang merupakan anggota gereja dengan sabar mengajari kami. Beberapa kali aku terpeleset dan terbanting saat mau berdiri. Ternyata berdiri sajapun memiliki teknik sendiri. Perasaan takut jatuh dan menjaga keseimbangan tubuh bercampur jadi satu menciptakan sebuah tantangan, apalagi dengan kondisi tubuhku yang sedikit tambun ini.
Saat belajar berdiri dan meluncur ke depan |
Hukum gravitasi yang berkata bahwa semakin berat massa sebuah benda maka semakin cepat juga jatuhnya ternyata berlaku juga untuk diriku yang memiliki massa (bobot) yang lebih berat daripada yang lainnya. Sudah tak terhitung berapa kali tubuh ini terbanting, terguling, terlempar dan terjerembab. Untung saja permukaan salju yang lembut masih sayang pada tubuhku sehingga dia rela menahan tindihanku tanpa meninggalkan bekas cupangannya (sekalipun setelah bangun pagi keesokan harinya baru terasa remuk-redamnya badan ini). Bahkan pernah sekali waktu menabrak orang yang sedang meluncur di depanku hanya karena masih belum bisa mengendalikan arah dan kecepatan. Namun, itu semua tidak melunturkan semangat untuk tetap bangkit dan melanjutkan permainan meluncur dengan ski.
Beberapa pembelajaran dan nilai positif yang dapat diambil dengan peristiwa jatuh bangun ini adalah:
- Terjatuh itu adalah hal yang biasa dalam hidup, tapi ingat bahwa setelah jatuh harus mampu bangkit lagi.
- Semakin sering kita terlatih untuk bangkit maka semakin tahu kita cara dan trik untuk mencegah agar tidak terjatuh serta tahu cara terbaik untuk bangkit dan berdiri dengan baik.
- Rasa takut dan lebih fokus terhadap hambatan yang menanti di depan kita membuat kita cepat terjatuh.
- Look before you leap, atau pelajarilah rute terlebih dahulu sebelum berjalan.
- Belajarlah untuk mengendalikan ritme dan arah ketika sedang meluncur.
Percobaan pertama dengan modal nekad bukan naked menyusuri trek yang lumayan curam membuahkan hasil yang memuaskan. Setelah jatuh bangun berkali-kali, akhirnya sampai juga di post terendah ditemani oleh istri sang pastor yang baik hati. Setelah membeli tiket seharga 400 yen (sekitar Rp. 46.000 untuk kurs 1 Yen = Rp. 115) kami kembali ke atas menaiki ski lift. Ski lift ini memudahkan orang untuk ke puncak setelah meluncur ke post terendah ketika bermain ski.
Ski Lift yang membawa orang ke puncak |
Penulis di atas Ski Lift |
Menaiki Ski Lift ini memiliki tantangan tersendiri karena selain berada di atas ketinggian antara 5-8 meter dari permukaan salju tanpa disertai sabuk pengaman juga dengan ski gear masih melekat erat di kaki, kita juga dituntut untuk sigap ketika mau naik dan turun dari Ski Lift. Jarak dari post terendah ke puncaknya adalah sekitar 1 km, sehingga kita bisa menikmati pemandangan sekitar dan juga orang-orang yang lalu lalang bermain ski. Aku sudah bolak-balik naik ski lift ini sebanyak 3 kali dan mungkin saja bisa lebih lagi jika waktu memungkinkan.
Satu hal yang membuatku salut di sini adalah kelincahan orang-orang Jepang dalam bermain ski. Anak-anak usia 6-9 tahun pun terlihat dengan mahirnya meluncur sambil meliuk-meliuk bak ular di atas papan ski-nya. Bahkan yang lebih serunya ketika melihat seorang anak-anak meluncur dengan kencang sambil memegang adiknya yang berusia sekitar 5 tahun tanpa rasa takut. Aku merasa malu sendiri melihat kelihaian mereka tanpa cela, tidak seperti diriku yang bolak-balik mencium salju.
Salah satu jalur ski yang agak landai |
Tak terasa waktu berlalu, sudah hampir 4 jam kami bermain ski dan mencium salju. Sebenarnya niat hati masih belum ingin beranjak pulang karena baru mulai menikmati meluncur di atas salju tanpa terjatuh. Namun mengingat hari sudah mulai gelap dan juga teman-teman sudah mulai berkemas-kemas untuk pulang maka mau tak mau diriku juga harus berkemas. Perjalanan dan pelajaran hari sangatlah berarti, membuatku semakin memahami arti sebuah perjuangan dalam hidup. Sampai jumpa Snow Resort, suatu saat aku pasti akan kembali.
Bersama dengan Ageyman (Nana), teman mahasiswa yang berasal dari Ghana |
Salam terakhir sebelum pulang dengan latar pemandangan indah di belakang |
Bersama teman-teman mahasiswa dan rekan satu gereja |
Post a Comment