Rumah Adat Tradisional Nias Berada di Ambang Kepunahan
Rumah Adat Tradisional Nias (Omo Hada) merupakan simbol kemegahan masyarakat Nias di zaman dulu, sebuah karya arsitektur yang unik dan bernilai tinggi, tidak menggunakan elemen besi untuk menghubungkan masing-masing bagian di rumah adat tersebut, sekalipun hanya menggunakan pasak kayu namun telah terbukti kokoh dan tahan gempa.
Rumah Adat Nias Bentuk Oval Khas Nias Bagian Utara di desa Lololakha |
Berbicara tentang Omo Hada (Rumah Adat) yang merupakan sebuah simbol
kemajuan peradaban dan seni arsitektur Nias di zaman dulu yang memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri secara umum
terbagi atas tiga jenis (menurut Alain M.Viaro dan Arlette Ziegler) berdasarkan
pada bentuk atap dan denah lantai bangunan. Yang pertama adalah tipe Nias Utara
dengan ciri khas bentuk atap bulat dan bentuk denah oval, Tipe Nias
Tengah Bentuk atap bulat , bentuk denah segi empat; dan
Tipe Nias Selatan Bentuk atapnya segi empat, dengan
bentuk denah persegi.
Omo Hada di Nias dibedakan oleh denah lantai dasar yang khas dengan bentuk
lonjong. Atapnya terdiri dari struktur yang lebih ringan dengan ruangan bawah
atap yang tanpa halangan, yang memungkinkan lantai tingkat di atas sebagai
lantai tempat tinggal utama. Omo Hada Utara bukan saja menampilkan kesan monumental, tetapi juga berperan
sebagai wadah bertinggal yang leluasa dan nyaman. Denah dengan pola open lay
out memudahkan penghuni mengatur tata ruang sesuai selera. Pola paling umum adalah membagi ruang menjadi
empat bagian, cukup dengan meletakkan dinding penyekat bersilangan tegak
lurus satu sama lain di tengah ruangan. Sistem denah terbuka juga membuat rumah
vernakular ini sangat adaptif dengan kebutuhan masyarakat masa kini sebab
pemilik rumah dapat leluasa menggunakan berbagai perabot modern di dalamnya.
Kenyamanan ruang cukup terjaga karena elemen rumah dirancang secara cerdik
menggunakan prinsip arsitektur tropis.
Di tempat-tempat yang diinginkan, bilah dinding papan bisa diganti jerajak
untuk menciptakan bukaan. Di ruang duduk lantai di sepanjang dinding umumnya
sengaja ditinggikan dan sebuah bangku diletakkan menempel sepanjang dinding.
Dari bangku ini penghuni memandang bebas ke arah luar. Dinding miring
memungkinkan privasi karena seluruh kegiatan di balik rumah tidak tampak dari
luar walaupun jerajak dibiarkan terbuka sepanjang hari. Bukaan dengan posisi
miring mampu mengatasi tempias air hujan. Ukurannya cukup lebar sehingga udara
dan cahaya alam bebas menerobos masuk ke dalam rumah. Di ruang duduk dan dapur,
salah satu bagian atap dapat berfungsi sebagai sky light, cukup dengan cara
mendorongnya ke arah luar lalu menopang nya dengan tongkat dari dalam.
“Dulu kakak dan abang saya pernah bercerita bahwa kami juga memiliki
sebuah rumah adat, namun karena alasan yang tidak jelas, Omo Hada itu akhirnya
di rubuhkan dan diganti dengan bangunan yang baru. Saya akhirnya hanya mampu
mengingat bahwa kami dulu memiliki omo hada” (penulis).
Berbagai Kendala dalam Mempertahankan Kelestarian Rumah Adat
Kembali kepada pembahasan tentang ancaman kepunahan Omo Hada di Kota
Gunungsitoli, sudahlah jelas di depan mata. Faktor ekonomi masyarakat merupakan
salah satu penyebab utama ancaman kepunahan Omo Hada ini. Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa biaya pemeliharaan sebuah rumah adat sangatlah besar
karena membutuhkan perawatan dan bahan-bahan khusus. Untuk mempertahankan
keaslian dan kelestarian Omo Hada, para pemilik rumah dituntut untuk
rutin mengganti atap (Sago) rumah yang berbahan daun rumbia (Metroxylon
sagu) setidaknya sekali setiap tahunnya (tergantung ketebalan/sisipan atap
rumbia yang digunakan). Kendalanya adalah bahwa, penggantian atap rumbia ini
tidak bisa sekaligus dilakukan, harus dengan cara penyisipan/penggantian di
beberapa bagian yang sudah lapuk. Sebagai informasi bahwa sebuah Omo Hada
membutuhkan setidaknya 5000 (lima ribu) nga’ela (helai) atap rumbia
dengan harga bervariasi antara Rp.1.500-2.500 per helainya. Hal ini lah yang
menjadi beban dan pergumulan bagi para pemilik rumah adat yang sebagian besar
pekerjaannya hanyalah sebagai petani dan penyadap karet. Untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari saja sudah susah apalagi untuk memikirkan perawatan
rumahnya yang membutuhkan biaya jutaan rupiah setiap tahunnya. Atap
hanyalah salah satu komponen dalam rumah adat yang perlu diperhatikan
perawatannya, selainpenggantian papan lantai (fafa gahembato) dan
dinding, Ehomo (tiang penyangga), Ndriwa (tiang pondasi) dan
struktur rumah lainnya yang keseluruhan berbahan kayu dengan biaya puluhan juta
rupiah. Hal inilah yang membuat para pemilik Omo Hada berada dalam
posisi yang dilematis antara mempertahankan kelestarian Omo hada atau
menghidupi keluarganya.
Faktor kedua yang menjadi ancaman kepunahan Omo Hada ini adalah
perebutan harta warisan. Beberapa Omo Hada di Nias dibakar/dihancurkan
hanya karena perebutan hak warisan rumah oleh sesama saudara. Banyak pihak
keluarga yang masih belum bijak dalam menyikapi hak kepemilikan Omo Hada tersebut
dan berusaha memperebutkan rumah tersebut dari saudara-saudaranya yang lain
sehingga apabila tidak ada titik temu, muncullah istilah “akha lo faoma
ta’okhogo nasimano, da tafakiko ia enao faoma ohahau dododa” (biarlah kita
sama-sama tidak memilikinya, biar kita hancurkan saja agar kita sama-sama
senang). Hal ini yang menjadi polemik dalam kepemilikan Omo Hada di
pulau Nias pada zaman dulu, namun seiring dengan perkembangan zaman dan semakin
tingginya kesadaran dan tingkat pendidikan masyarakat Nias, hal tersebut sudah
mulai berkurang.
Proses Pembongkaran rumah adat di desa Lasara Sowu |
Faktor yang ketiga adalah susahnya akses dan kebutuhan akan tempat tinggal
yang lebih besar dan dekat dengan tempat pendidikan/kerja. Omo Hada di
Nias sebagian besar terletak di daerah pegunungan yang aksesnya susah
dijangkau. Tujuan pembangunan Omo Hada di daerah pegunungan di zaman
dulu adalah untuk menghindari diri dari serangan musuh. Namun saat ini, lokasi
di daerah pegunungan ini menjadi kendala besar bagi para pemilik rumah adat
dalam mendapatkan air untuk keperluan rumah tangga. Sehingga seringkali mereka
perlu berjalan 500m-1km untuk mendapatkan sumber mata air. (Dahulu,
sebelum adanya jeriken, pengangkutan air ini menggunakan “Asoa” yakni bambu
yang telah dilubangi antar ruasnya untuk menampung air). Jauhnya lokasi
rumah adat dari pusat kota/tempat kerja/sekolah juga memaksa beberapa pemilik Omo
Hada untuk meninggalkan Omo Hada-nya dan membangun rumah yang lebih
dekat ke pusat kota. Serta kebutuhan akan tempat tinggal yang lebih besar yang
mampu menampung banyak anggota keluarga mengingat ruang di Omo Hada sangatlah
terbatas sehingga memicu para pemilik Omo Hada untuk membangun rumah
yang lebih besar dan menghancurkan Omo Hada peninggalan leluhurnya.
Salah satu rumah adat yang atapnya diganti dengan seng sehingga mengurangi nilai artistik dan kekhasan Omo Hada |
Jumlah Rumah Adat Tradisional Semakin Berkurang
Sepanjang tahun 2011 dan 2012 sejak
saya mulai bekerja di Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kota
Gunungsitoli, sudah ada 2 rumah adat yang dirubuhkan/dibongkar karena alasan
besarnya biaya pemeliharaan dan keinginan mendirikan rumah baru. Bahkan yang
lebih mirisnya, salah satu pemilik rumah adat yang membongkar rumahnya tersebut
sempat masuk dalam daftar penerima bantuan rehabilitasi dari Dinas Pariwisata
Kebudayaan Pemuda dan Olahraga Kota Gunungsitoli, namun pada saat hendak
pencairan bantuan rehabilitasi sang pemilik sudah membongkar rumahnya. Dari
data yang saya miliki, terdapat 110 buah Omo Hada
yang tersisa di Kota Gunungsitoli namun dari jumlah yang 110 buah
ini, 11 buah rumah adat telah dipugar (atapnya telah diganti dengan seng)
sehingga menghilangkan nuansa khas dan keaslian rumah adat tersebut. Sehingga tinggal 99 Omo Hada lagi yang tersisa.
Upaya Museum Pusaka Nias dalam
merestorasi rumah adat tradisonal Nias patut diacungi jempol dan diberikan
apresiasi. Tercatat ada dua rumah adat yang baru dibangun yang dibantu
difasilitasi pembangunnya oleh pihak Museum Pusaka Nias. Mendirikan sebuah
rumah adat bukanlah suatu hal yang mudah karena dibutuhkan keahlian khusus dan
ketekunan dalam melakoninya. Salah satu kendala dalam
pembangunan/rehabilitasi rumah adat ini adalah susahnya mendapatkan
tukang yang benar-benar ahli dalam pengerjaan struktur kayu pada Omo Hada. Salah satu tukang yang
mampu menjawab kendala ini adalah Kasman Larosa yang bertempat tinggal di Desa
Helefanikha Kecamatan Gunungsitoli Idanoi yang baru saja mendirikan sebuah Omo Hada.
Proses pembangunan rumah adat yang membutuhkan keahlian & ketrampilan khusus (doc: Irwan H. Tel) |
Dibutuhkan Solusi, Strategi dan Kerjasama
Sesuai dengan Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya yang
menyatakan bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab
dalam pengaturan, perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya,
Pemerintah Kota Gunungsitoli dalam hal ini Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda
dan Olahraga Kota Gunungsitoli telah berupaya mengambil andil dalam pelestarian
rumah adat tradisional di Kota Gunungsitoli dengan memberikan bantuan
rehabilitasi kepada pemilik rumah adat di masing-masing kecamatan yang ada di
Gunungsitoli. Namun upaya ini masihlah belum maksimal karena tidak mampu mencakup
seluruh pemilik rumah adat yang berjumlah 99 buah karena keterbatasan dalam
segi pembiayaan. Dari tahun 2011 -2012 (dalam kurun waktu 2 tahun) baru 21 buah
Omo Hada yang tersentuh oleh bantuan rehabilitasi. Apabila dihitung,
rata-rata 10 rumah adat yang mendapat bantuan per-tahunnya yang artinya butuh
waktu 10 tahun untuk mampu menjangkau seluruh pemilik rumah adat di Kota
Gunungsitoli. Sementara setiap tahunnya pemilik rumah adat membutuhkan atap
rumbia untuk mengganti atap Omo Hada yang mulai lapuk.
Dibutuhkan solusi dan strategi yang lebih tepat agar masyarakat pemilik
rumah adat tidak selamanya tergantung pada bantuan yang diberikan oleh
pemerintah untuk mempertahankan kelestarian rumah adat tradisional di
Gunungsitoli secara khusus dan Pulau Nias secara umum. Kemungkinan untuk
mencari material dari bahan sintetis dan lebih tahan lama pengganti daun rumbia
dan memiliki corak/motif daun rumbia menjadi salah satu alternatif untuk
mengurangi beban pemiliknya dalam pemeliharaan rumah adat.
"Pernahkah terpikirkan oleh kita bila nantinya keberadaan rumah adat ini hanya tinggal cerita kepada anak cucu kita yang hanya dapat ditunjukkan lewat gambar dan miniaturnya saja tanpa dapat benar-benar dilihat dan dirasakan langsung oleh mereka?"
GO NIAS TOUR
Jl. Pendidikan No. 19A Kelurahan Ilir Gunungsitoli
Mobile Phone: 0812-6027-4444
PIN BB : 7533A4C6
PIN BB : 7533A4C6
Facebook fan page:Go Nias
Post a Comment