Header Ads

Surat Dari Jepang: Acara Minum Teh dan Mandi Telanjang Bersama Orang Jepang

"Adapt yourself to the things among which your lot has been cast and love sincerely the fellow creatures with whom destiny has ordained that you shall live". - Marcus Aurelius


Orang-orang Jepang yang serius (ilustrasi)

Secara umum, orang Jepang identik dengan sikapnya yang kaku, tidak suka basa-basi dan terkenal serius. Sama seperti yang kupikirkan ketika pertama sekali mendengar, bertemu dan mengenal orang-orang Jepang. Namun selang beberapa lama berinteraksi dan berteman dengan mereka, ternyata anggapanku selama ini terbantahkan. Mereka ternyata ramah dan kocak juga ternyata. Mungkin dalam dunia kerja mereka memang dituntut untuk serius, disiplin dan tidak kenal kompromi, namun di luar hal tersebut mereka juga tetap memiliki sifat-sifat yang sama dengan orang Indonesia bahkan lebih "manusiawi" menurut bahasaku.

"Manusiawi" menurut bahasaku diartikan bahwa mereka lebih menghargai manusia dan arti hidup itu sendiri dibanding kebanyakan orang-orang di Indonesia. Contohnya, Pertama, mereka sangat menghargai nyawa dan keselamatan. Orang-orang sangat patuh terhadap rambu-rambu lalu lintas dan hampir sulit menemukan polisi di jalanan jepang (sangat bertolak belakang dengan Indonesia). Sebuah guyonan yang memang benar-benar nyata berkata: bila orang Indonesia berkendara, lampu kuning berarti tanda tancap gas dan kalau lampu hijau pertanda pelan-pelan, bahkan lampu merahpun kalau kiri-kanan masih lowong hajar saja. Beberapa kali menumpang kendaraan di Jepang, hal tersebut tak pernah kutemukan justru di saat lampu kuning sajapun mereka sudah berhenti, bahkan pejalan kakipun berhenti saat tanda tidak boleh menyebrang menyala (bandingkan dengan Indonesia).

Kedua, sangat sulit menemukan sampah di jalanan Jepang. Untuk membuang sampah saja pun kadang kita merasa tak tega saking bersihnya setiap jengkal tempat di sini. Ketiga, membantu dengan tulus. Jangan takut tersesat dan meminta tolong saat di Jepang karena mereka akan dipastikan membantu anda selama ada waktu tanpa mengharap dapat imbalan. Bahkan tak jarang mereka bersedia mengantarkan kita ketempat tujuan (pengalaman pribadi penulis).  Keempat, orang Jepang terkenal dengan kejujurannya. Di sini kita tidak perlu kuatir kalau meninggalkan barang kita di tempat umum, bayangkan kalau di Indonesia "Rencong kiri-kanan, dompet (tetap) hilang juga". Kadang terpikir, kapankah bisa merasakan keamanan dan kenyamanan seperti ini di Indonesia?.

Belajar Minum Teh Jepang
Siang tadi tiba-tiba aku ditelepon oleh Noriko-san, seorang ibu yang beberapa waktu yang lalu bertemu di sebuah Cafe Sosial bernama Globe Club tak jauh dari kampus tempatku belajar. Kebetulan Noriko-san ini menjadi volunteer (relawan -red) di Cafe tersebut sementara aku mengajarkan bahasa Inggris kepada beberapa orang tua yang ingin meningkatkan kemapuan bahasa Inggrisnya. Globe Club ini merupakan wadah sosial tempat berkumpulnya warga sekitar daerah tersebut untuk minum teh/kopi tanpa ditentukan harga (bayar seikhlas-nya). Noriko-san dan Hiroshi-san suaminya mengajak untuk berkunjung ke tempat mereka di Maiko untuk minum teh dan menikmati pemandian air panas (onsen). Daerah ini terkenal dengan Onsen-nya. Bukan hanya sekedar ajakan, bahkan mereka bersedia menjemputku ke kampus yang berjarak 30 menit dari apartemen mereka dan mengantarkan kembali  setelah usai. 

Sesampainya di tempat mereka, Noriko-san menyuguhkan teh bubuk matcha yang dibuat dari teh hijau yang digiling halus beserta manisan. Ada dua jenis teh yang biasa digunakan pada upacara minum teh Jepang, yakni matcha dan sencha (teh hijau yang diiris halus). Ternyata minum teh pada upacara chadoo (minum teh dalam ruangan) atau nodate ( di luar ruangan) memiliki tatacara tersendiri. Tamu yang diundang secara formal untuk upacara minum teh juga harus mempelajari tata krama, kebiasaan, basa-basi, etiket meminum teh dan menikmati makanan kecil yang dihidangkan. Minum teh ini dilakukan sambil bersimpuh di lantai dan bisa memakan waktu hingga 1 jam atau lebih. Bisa dibayangkan sulitnya bersimpuh selama lebih dari satu jam, membutuhkan semangat, keahlian dan latihan yang cukup lama. 
Matcha dan Usuicha (mangkok teh Jepang)
Meminum teh juga tidak sembarang minum seperti minum teh biasa, kita harus mengangkat usuicha (mangkuk teh) dengan kedua belah tangan sejajar mata sebagai ucapan terimakasih, setelah itu memutar mangkuk 45 derajat sebanyak dua kali ke kanan ketika meminum dan memutar 45 derajat ke kiri sebanyak dua kali lagi pada saat menurunkan dari mulut kita. lukisan burung di mangkuk memiliki makna dan fungsi tersendiri. Sebelum minum posisi lukisan menghadap kita, pada saat diputar ketika diminum menghadap ke depan. Saat teh-nya habis pun kita harus mengeluarkan suara seperti menyeruput sebagai penanda bahwa teh-nya sudah habis. Kelihatan sulit namun unik dan menarik. Teh matcha berasa sedikit agak sedikit pahit. 

Mandi Telanjang di Onsen
Setelah minum teh usai, aku diajak oleh Hiroshi-san untuk pergi ke Onsen (pemandian air panas alami) yang berada di basement apartemen mereka. Sebelumya sudah diberitahukan memang bahwa aku akan diajak ke Onsen dan dipesankan untuk bawa handuk sendiri. Aku sempat mendengar memang bahwa kalau mandi di Onsen semua pakaian harus ditanggalkan alias telanjang, awalnya aku berpikir bahwa Onsen yang dimaksud tidak sampai bertelanjang ria. Namun ternyata dugaanku salah besar, di Onsen HARUS MANDI TELANJANG RAMAI-RAMAI (tempat mandi pria dan wanita terpisah). Risih memang karena tidak terbiasa, namun karena sudah kepalang basah ya mau tak mau harus mengikuti aturan. 

Ruangan tempat membuka dan meletakkan pakaian di Onsen

Para pria Jepang dengan santai berlalu lalang di pemandian tanpa canggung, sementara diriku dengan malu-malu bahkan awalnya menutupi daerah terlarangku dengan tangan. Tapi lama-lama rasa cuek dan terbiasa datang juga sehingga membiarkannya menjuntai bebas. Ternyata, untuk mandipun ada aturan dan urutannya sendiri. Awalnya kita ke ruangan yang dipersiapkan untuk membuka dan menyimpan pakaian, setelah itu membasuh badan dulu sebelum masuk ke kolam untuk berendam. Ada beberapa kolam yang kadar panas airnya berbeda dan kita mulai berendam di kolam yang hangat selanjutnya yang lebih panas. Sambil berbincang-bincang Hiroshi-san, beliau bercerita bahwa di beberapa daerah di Jepang ada Onsen dimana pria dan wanita berendam di kolam yang sama, namun belakangan ini anak-anak muda sudah mulai meninggalkan kebiasaan tersebut dan lebih memilih berendam di tempat terpisah.

Kolam air hangat dan Panas

Kolam di luar ruangan terbuka
kami berendam di kolam yang hangat selama kurang lebih 20 menit, selanjutnya berpindah ke kolam di luar ruangan dan ke kolam yang air-nya lebih panas. Namun di kolam terakhir aku hanya bisa bertahan sekitar 5 menit dan langsung membasuh diri memakai pakaian karena tidak tahan dengan panasnya air. 
Ruang tempat membilas
Setelah usai mengenakan pakaian, dengan sembunyi-sembunyi aku mengabadikan foto-foto di ruang Onsen ini setelah mendapat persetujuan dari Hiroshi-san, yang sebenarnya menurut aturan tidak diperbolehkan mengambil foto tetapi untuk menghindari ungkapan "no picture = hoax" akhirnya pengambilan foto secara candid pun berhasil.

Sebuah pelajaran dan pengalaman baru yang tidak akan terlupakan, sekalipun di kampung asalku mandi bersama di pancuran merupakan hal yang biasa namun terakhir aku melakoninya ketika masih di bangku SMP. Namun seperti pepatah berkata "When you are in Rome, do as the Romans do", yang dalam bahasa Indonesia sama halnya "Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung". 

No comments

A good reader always leave comments

Powered by Blogger.