Fanunu Fandru, Perayaan dan Makna Natal di Nias, Dulu dan Kini
“Bongi no mörö manö
Niha ba mbanua
Ha ira Yosefo Maria
Lö si mörö me tumbu khöra
Nonora matua
Ono sia’a ba”
Fanunu Fandru (natal), secara
harafiah berarti penyalaan/pembakaran lampu dalam bahasa Nias, memiliki
ciri khas tersendiri dalam perayaannya di Nias (terutama di masa kecil
penulis). Mulai dari prosesi sebelum dan setelah perayaan natal yang
selalu membawa kenangan indah yang tak terlupakan, memberikan nuansa
kebersamaan dan kekeluargaan yang sangat dalam. Sekalipun dirayakan
dengan sederhana, namun mampu mengangkat makna natal yang sesungguhnya.
Bulan
Desember merupakan bulan yang sangat dinantikan oleh anak-anak seumurku
di masa itu, karena hanya diwaktu itulah bisa mendapatkan baju baru dan
menikmati hidangan yang enak serta berkumpul bersama dengan keluarga
besar, baik yang merantau ke luar daerah maupun yang sudah menikah dan
berada jauh dari rumah orangtua.
Biasanya
di awal bulan Desember, anggota keluarga yang pergi merantau kembali ke
kampung halaman dengan membawa oleh-oleh (berupa makanan dan
buah-buahan) dan pakaian baru bagi keluarganya yang tinggal di kampung.
Bagi yang tidak sempat pulang kampung, mereka bisanya menitipkan
kirimannya melalui tetangga atau saudara yang tinggal berdekatan dengan
kampungnya.
Persiapan
menjelang natal disambut dengan latihan paduan suara bersama, lomba
cepat tepat Alkitab, Lomba vokal solo, dan bersih-bersih rumah serta
lingkungan sekitar kampung dan gereja. Anak-anak muda sudah mulai
mempersiapkan meriam bambu untuk
dinyalakan bersahut-sahutan dimulai dari seminggu menjelang natal dan
puncaknya pada malam tahun baru. Tak heran bila pada tahun baru, banyak
anak-anak muda yang kehilangan alis mata karena tersulut api meriam
bambu. Tidak ada petasan atau kembang api pada masa itu. Lilin merupakan
komoditas yang mahal sehingga penerangan disiasati dengan membuat dian
kecil dari botol-botol bekas ataupun dari bahan bambu.
Pohon
natal yang digunakan juga bukan pohon natal yang biasa kita jumpai saat
ini yang terbuat dari bahan plastik, melainkan gabungan dari batang
pohon pisang, daun kelapa muda, buah-buahan dan dedaunan yang dibentuk
seperti sebuah pohon raksasa (sekalipun hanya dalam imajinasi saja).
Yang dihias bersama-sama oleh perwakilan dari beberapa kampung.
Kebetulan gereja kami memiliki jemaat dari 8 (delapan) desa sekitar sehingga terasa penuh disaat-saat perayaan natal (bahkan tidak dapat menampung seluruh jemaat).
Malam
puncaknya adalah pada tanggal 24 Desember malam hari, dimana seluruh
orang dari 8 penjuru kampung berkumpul merayakan natal di gereja. Di
sinilah mulai terlihat rasa kebersamaan dan kekeluargaan dimana mulai
pagi hari, seluruh penduduk desa secara berkelompok urunan untuk
memotong hewan untuk bisa dibagikan ke masing-masing rumah tangga,
sehingga setiap rumah tangga dapat menikmati daging pada hari itu. Sore
harinya anak-anak yang dengan mengenakan baju baru, berpawai keliling
kampung dengan membawa obor kecil sambil bernyanyi mengajak seluruh
penduduk kampungnya bersama-sama berangkat ke gereja (jarak dari kampung
penulis dengan gereja adalah ± 1 Km ditempuh dengan berjalan kaki).
Kebersamaan selanjutnya terlihat dari inisiatif masing-masing keluarga yang memiliki “Fandru Gasi” (lampu
petromak) untuk dibawa ke gereja sebagai sumber penerangan selama
perayaan natal dan juga sewaktu pulang ke rumah setelah selesai natal.
Sebagai informasi, dimasa itu penerangan listrik belum ada
dan jalan juga masih belum diaspal, sehingga lampu petromak sangatlah
penting peranannya. Lampu petromak yang dibawa dari berbagai kampung
menjadi sumber penerangan selama perayaan natal berlangsung.
Jemaat
yang ikut perayaan natal akan terus setia mengikuti perayaan natal dari
awal hingga selesai sekalipun natal baru berakhir hingga pukul 01.00
pagi hari. Dimulai dari penampilan vocal group, paduan suara dan vokal
solo dari masing-masing kampung, prosesi natal, penyalaan lilin, lagu
malam kudus, khotbah dan tentunya yang terakhir dan sangat dinanti
adalah undian berhadiah (yang juga merupakan pemberian dari jemaat yang
ingin menyumbangkan hadiah) pada penghujung acara.
Biasanya
seluruh jemaat pulang berbarengan dengan ke kampung masing-masing
karena saling menunggu lampu petromak untuk penerangan jalan pulang ke
rumah dan juga mungkin karena antusias menunggu hadiah dari undian yang
sebenarnyaan tidaklah seberapa bernilai namun menjadi suatu kebahagiaan
tersendiri bagi mereka bila memenangkan undian tersebut.
Menyambut
malam pergantian tahun baru, biasanya masing-masing keluarga membuat
ketupat dan kue mangkuk sederhana ala orang kampung, namun nikmat sekali
rasanya karena saling berbagi kepada tetangganya sekaligus digunakan
untuk menjamu tamu yang berkunjung ke rumah mereka pada tahun baru.
Namun,
perayaan natal di Nias belakangan ini sudah mulai jauh dari makna awal
tentang kebersamaan dan kekeluargaan (mungkin) mengikuti perkembangan
waktu dan dinamisme gaya hidup masyarakat Nias yang semakin menunjukkan
sisi individualismenya. Sekarang jarang ditemukan kebersamaan dan
kekeluargaan tersebut, masing-masing sibuk dengan pamer kekayaan atau
atribut natal yang dimiliki, serta karena masing-masing sudah memiliki
kendaraan dan penerangan sendiri. Keluarga yang dirantau juga sudah
jarang yang pulang ke kampung dan terkadang jemaat berkurang setengahnya
sebelum acara penutupan natal selesai. Fanunu Fandru, oh Fanunu Fandru, kapankah kebersamaan itu akan terulang lagi……
Post a Comment