Kisah Rajawali “My Crown is My Son”
Suatu ketika seekor burung Rajawali Jantan dalam perjalanannya menuju medan
laga di pulau seberang yang sudah turun-temurun dilakoni oleh kakek buyutnya
dalam bertarung dengan Rajawali jantan lainnya untuk memperebutkan mahkota untuk
mendapat pengakuan sebagai Rajawali terkuat sejagad raya.
Sebuah kebanggaan tersendiri bila mereka mampu menunjukkan keperkasaannya
dan diakui sebagai Rajawali terhebat dan dielu-elukan oleh semesta alam dengan
kilau mahkota bertahtakan emas berlian di kepalanya sebagai simbol penghargaan tertinggi
dalam kehidupannya.
Menjadi seorang juara dengan membawa pulang mahkota tersebut merupakan
impian dan harapan yang sangat besar baik bagi sang Rajawali itu sendiri maupun para pendahulunya
karena tak satupun dari mereka pernah mampu memenangkan lomba tersebut, sehingga
saat hendak mengepakkan sayapnya dari sarang meninggalkan sang induk rajawali
dan seekor anak Rajawali mungil yang baru saja menetas, tekadnya sudah bulat
untuk membawa pulang mahkota tersebut untuk dipersembahkan kepada pendahulu dan
pastinya akan menjadi sebuah kebanggaan bagi anaknya yang akan menjadi anak dari
Rajawali perkasa sejagad raya.
Di tengah perjalanannya menuju pulau tempat diadakannya lomba tiba-tiba
gemuruh petir menggelegar disertai angin kencang dan hujan deras serta awan
hitam menutupi pucuk pohon tertinggi tempat induk dan anaknya bersarang. Naluri
seekor Rajawali pasti memampukannya menembus badai sekencang apapun karena
dirinya diberkati dengan tulang sayap yang kuat yang takkan gentar dihantam
badai. Apalagi bayangan mahkota yang sudah berada di depan pelupuk mata dan dia yakin
akan memenangkannya karena sudah berlatih keras selama bertahun-tahun untuk
memenuhi ambisinya menjadi “Rajawali Perkasa”.
Namun, ketika dia melihat ke belakang dia membayangkan bagaimana sang anak
menggigil kedinginan dan sang induk dengan sayap-sayapnya yang basah serta
mulai rontok akibat terpaan angin kencang demi memberikan perlindungan kepada
anak tercintanya. Timbul suatu pertanyaan dalam diri sang Rajawali “haruskah aku merelakan induk dan anakku sendirian bertarung dengan maut di bawah
ancaman hujan badai yang menggelegar hanya untuk mengejar sebuah mahkota yang
menjadi simbol kebanggaanku?”
Sebagai seekor Rajawali yang telah terbiasa dididik dan dilatih menjadi pejuang
yang tak kenal menyerah dan menjunjung tinggi kehormatan pendahulu dia pastinya
harus tetap bisa mengeraskan hati apalagi medan laga tinggal setengah
perjalanan lagi. Namun, hati seorang ayah mengalahkan semua kehormatan, kebanggaan,
mahkota atau apapun namanya. Dia memutar arah kembali ke sarangnya demi
menyelamatkan sang induk dan buah hatinya. Baginya, masih ada waktu untuk
bertarung kembali untuk mendapatkan mahkota tersebut ataupun dia dapat melatih
sang anak untuk menjadi Rajawali yang lebih gagah perkasa dari dirinya untuk
merebut kembali mahkota tersebut di masanya kelak.
Nyawa induk dan anaknya tidak dapat dibayar oleh mahkota yang diraihnya, namun
ada kesempatan untuk meraih mahkota itu bila induk dan anaknya selamat.
Demikianlah sang Rajawali kembali ke sarangnya memberikan sayapnya yang
kokoh untuk membantu sang induk yang sudah menggigil kedinginan dengan bibir
yang menghitam, membagi kehangatan kepada anaknya yang sudah mulai memucat.
Kedatangannya sangat tepat pada waktunya, apa jadinya bila ia tetap bersikeras
mengejar mahkota.
Sambil menahan dingin diantara gemelutuk paruhnya, dia mengukir sebuah
tulisan di batang pohon dekat sarangnya “My Crown is My Son” (Mahkotaku adalah
Anakku).
Post a Comment